KASATRIYAN

[kasatriyan][twocolumns]

PADHARINGAN

[padharingan][twocolumns]

SENTHONG

[senthong][twocolumns]

KLANGENAN

[padangkembara][twocolumns]

GATHOLOCO

[gatholoco][twocolumns]

Lelaki Sebelas Tahun

Berapa lama seorang manusia akan hidup? Tidak ada yang akan pernah tahu. Bagaimana jalan hidup seorang manusia? Juga tak akan ada seorangpun yang tahu. Semua orang hanya mereka-reka. Semua hanya berharap mereka tahu apa yang akan terjadi kesudahannya. Yang orang tahu adalah masa lalu. Dan mengingat masa lalu adalah cara untuk belajar merencanakan masa depan. Sebab masa depan adalah pertaruhan, dan modal kita hanyalah cerita masa yang sudah lepas.
Ini adalah cerita seorang manusia. Cerita ini dipermulakan sepertiga abad yang lalu. Lima tahun berkembang di masa penuh bahagia. Tertawa bersama orang tua. Setahun diantaranya, bahagia itu bertambah dengan hadirnya seorang adik laki-laki. Seorang kawan bermain yang menyenangkan bagi masa kecilnya. Tapi hanya itulah masa kecil yang diingat. Sebab, enam tahun sesudahnya.. laki-laki kecil itu harus pergi meninggalkan buai ibu dan didikan ayah. Demi cita-cita untuk bersekolah, si laki-laki kecil pergi merantau.
"Tak apa aku terpisahkan, asal bisa aku sekolah." Naif, tanpa pikir panjang, dan polos. Laki-laki kecil melangkah menantang dunia. Terbang ia menuju kesendirian. Dijumpainya lubuk kasih sayang baru, ditinggalkannya sumber kasih sayang yang selama ini menyediakan baginya pangkuan dan pelukan hangat kala hari hujan. Tentu bukan sebenar-benarnya pergi, karena ini hanya lubuk tua, tempat muasal dirinya ada.
Lali-laki kecil bertemu keluarga baru. Laki-laki kecil tinggal di rumah baru. Rumah yang selama ini hanya disinggahinya setiap akhir pekan. Kini rumah itu jadi rumahnya jua. Bersama seorang lelaki renta dan istrinya yang juga tua. Seorang saudara sepupu perempuan dan bibi bungsu adik ibunya jadi kawan kesehariannya.
Laki-laki kecil bertemu kawan baru. Baju putih dengan celana merah yang terlalu longgar melekat di tubuhnya. Enam tahun disandangnya tas selempang yang sama. Kadangkala kaki-kaki kecilnya mengantarnya kesekolah dengan terbungkus sepatu, tapi seringnya bertelanjang kaki pergi dia menuntut ilmu.
Dia bukan seorang yang menutup diri, tapi keseharian membuatnya terbiasa bermain sendiri. Kadangkala bersepeda ia bersama teman-temannya, bermain ke tempat-tempat yang jauh. Mandi di sungai, bermain layang-layang, mencari bambu sumpit, dan rupa-rupa permainan anak. Tapi selebihnya, lebih banyak waktunya ia bermain seorang diri. Berlarian dia di halaman rumah kakeknya, mengejar bola karet pemberian bapa. Atau, bila tak hendak ia bermain keluar, setumpuk buku cerita kuno menjadi kawannya. Buku-buku milik sang kakek. Buku yang sudah kuning kertasnya, yang menguarkan bau tua, yang bagian-bagiannya banyak dimakan kutu.
Masih diingatnya, pekan pagi adalah saat yang ditunggu-tunggu. Sebab saat itulah teman masa kecilnya akan datang, bertandang. Juga ibu dan bapanya. Maka, ketika pukul sembilan tiada kabar berita, berlarilah ia menuju gerbang. Berdiri ia di bawah rumpun bunga kandelia. Ditatapnya jalan berdebu di kejauhan. Berharap motor tua datang membawa keluarganya, tersenyum cerah padanya. Senyum yang membuat bahagia yang sama tersungging di bibirnya.
Satu-satunya hal yang diingatnya pernah membuatnya begitu kecewa, ketika ibu bapa dan adik kecilnya tiada datang menjenguknya. Pekan yang ditunggu-tunggu, rencana bermain bola seharian, atau memancing ikan di kolam, pupus sudah. Lelaki kecil cuma bisa terduduk di tangga rumah. Kecewa ia, tapi tak hendak ia meratap. Hanya air mata membayang di pelupuknya. Sebab, lelaki kecil selalu dididik untuk kuat, tegar dan tidak mengeluh. Sebab ia laki-laki. Dan neneknya selalu bilang, lelaki pantang menangis. Apalagi sulung dia. Sebab lelaki yang kerap menangis, kulitnya tipis. Dan lelaki yang kulitnya tipis tak akan bisa jadi pelindung bagi adik-adiknya. Dibiarkannya saja harapan itu luruh bersama luruhnya pucuk kamboja di pojok halaman.
Enam tahun menjalani itu, lelaki kecil tumbuh dewasa. Kembali ia ke pangkuan ibu bapa. Sebab sekolah berkualitas ada di kota. Berangkat ia menapaki jalan yang awam buatnya. Bertemu lagi ia dengan kawan-kawan baru. Anak kampung di tengah pergaulan kota. Sendiri ia, berusaha bertahan dari ketakutan dan kekhawatiran. Tapi tak hendak ia menangis, sebab lelaki yang menangis tipis kulitnya.
Masa kecil sudah berlalu. Lelaki remaja melewatkan masa kecilnya. Ia kini harus bertahan dengan cara baru di lubuk lamanya. Kehilangan kawan bermain di masa kecil, mencoba masuk ke pergaulan dan kawan-kawan baru. Serasa ia tak mampu. Kawan-kawannya sudah memiliki perkumpulannya. Dan pendatang baru macam dirinya jelas butuh tenaga dan usaha ekstra. Maka, terpaksa ia kembali memilih jalannya sendiri. Dihabiskannya waktunya dengan membaca. Hobi yang memang sudah lama menjadi pelarian ketika ia lelah bermain sendiri. Dulu, kala ia kecil. Maka semua buku dilalapnya. Di kampungnya dia bagai rusa ditengah-tengah kambing.
Lain waktu, diikutinya semua kegiatan di sekolah, untuk membunuh waktu. Guna menggantikan teman bermain yang tidak dimilikinya di rumah dan kampungnya.
Enam tahun berjalan. Lelaki remaja banyak menghabiskan waktu untuk organisasi dan kegiatan-kegiatan ekstra bersama kawan-kawan sekolahnya. Tak banyak waktunya dirumah atau bergaul dengan sebayanya di kampung. Sebab tak terbiasa dia.
Waktu pun berjalan. Baginya, masa remaja adalah kerja ekstra untuk belajar dan berorganisasi. Maka sampailah ia di bangku perguruan tinggi. Kakinya membawanya kembali merantau. Berpetualanglah ia di kota Jogja. Tempat dimana sebenar-benarnya darahnya berasal. Bertemu lagi dengan kawan-kawan baru. Ditemukannya dunia yang jauh lebih menyenangkan. Ia bertemu dengan sesuatu yang hampir tidak ditemukannya di kota kecilnya. Pengalaman baru, cerita baru, petualangan baru. Jadi, jarang ia pulang. Sebab ia menemukan rumahnya di kota ini. Ia menemukan kawan-kawan dan kehangatan di tengahnya.
Dia sangat menikmati hidupnya di kota ini. Disini pula ia menemukan cintanya. Disini ia belajar benar-benar menjadi seorang manusia. Manusia yang mencinta, dan manusia yang dicinta. Bukan salahnya sehingga ia menganggap Jogja adalah rumahnya. Sebab disana, jiwanya diterima. Kehausannya akan cinta, mendapatkan obatnya. Lebih lagi, ia mendapat guru dimana ia belajar untuk berdamai dengan kegetiran masa lalu.
Enam tahun dengan segala romantika. Rindu yang menghampa, bahagia yang menggelora. Pernah suatu ketika, ia memutuskan untuk melangkah sendiri. Berusaha bertahan tanpa dukungan orang tua. Hampir berhasil ia, tapi kabar dari kotanya menggugurkan pertapaannya. Ibu yang selalu dicinta jauh dari dalam lubuk hati, sakit keras sebab anak sulungnya tak terdengar kabarnya sampai berbulan-bulan. Maka, di malam natal, pulang ia menghadap ibunya.
Tak akan pernah dilupakannya, sepanjang jalan yang terus diguyur hujan, ditengah kegelapan, ia menangis. Kerasnya tempaan didikan bapa tak lagi dipedulikannya. Yang diingjnkannya hanya menangis, melepaskan semua gundah.
Malam natal yang dingin, di saat keluarga keluarga lain merayakannya dalam kehangatan, ia sedang sendiri. Yang menemaninya hanya dingin dan basah sepanjang perjalanan. Hujan ini membuat dirinya tersadar, begitu lama ia mengeraskan hati bagi orang tuanya. Begitu lama tanpa disadari dirinya telah dan sedang membalaskan rasa sakit dan kehausannya akan kasih sayang pada kedua orang tuanya. Sakit yang menimpa ibunya menyadarkan dirinya, bahwa meski hanya 11 tahun ia bersama kedua orang tuanya, tak sedikitpun kasih sayang orang tuanya pernah berkurang atas dirinya.
Kerasnya didikan sang ayah, yang selalu menempanya tanpa ampun, selama ini membuatnya menjadi pribadi yang tak ambil peduli dengan tetek bengek kelembutan. Kelembutan baginya adalah bentuk kelemahan. Kelembutan adalah sikap yang cengeng. Dan di malam itu, laki-laki memasuki pintu titik balik.
Tapi waktu tidak memberinya kesempatan untuk kembali. Ajaran sang ayah kembali terngiang. Juga pesan nenek yang setiap saat menghentikannya dari tangisan kekalahan. Ia memutuskan untuk terus berjuang di perantauan. Diselesaikannya kuliahnya tetap dengan usahanya berdiri di kaki sendiri.
Kini lelaki kecil sudah semakin berumur. Lelaki dewasa ia sekarang. Hidup di perantauan, jauh di luar pulau kelahirannya. Delapan tahun dijalaninya, jauh dari sanak saudara. Cinta yang dirajutnya di bangku kuliah dibawanya serta. Baginya, istrinya adalah guru bagi usahanya belajar mencinta dan menyayanhi. Sang istri telah jauh merubahnya, dari seorang yang keras hati menjadi lelaki lembut yang tahu bagaimana menyayangi.
Kini, delapan tahun sudah ia merantau. Pergi jauh dari keluarganya. Ada keinginan untuk kembali, membalas budi baik bapa dan ibunya. Sebab, tiga puluh dua tahun masa hidupnya, tak lebih dari sebelas tahun ia dapat bersama. Kini, ayahnya sudah semakin renta. Sakit menyapa kesehariannya. Satu hal yang diinginkan lelaki itu, semoga masih ada lebih banyak waktu untuk ia menikmati kembali, kehilangannya selama ini. Ingin rasanya menambahkan tahun-tahun yang baru, untuknya berkumpul dengan orang tuanya. Bukan sebagai lelaki kecil yang butuh direngkuh, tapi sebagai lelaki dewasa yang berbakti pada orang tua, yang menyembah sujud dengan pengabdian demi membalas semua jasa dan budi baik kedua orang tuanya.
Si lelaki bertanya dalam hati, "Sisa umurku insyaallah masih banyak, tapi masih banyak juga kah sisa umur lelaki dan perempuan rentaku? Masih sempatkah aku membalas budi mereka? Atau memang hanya 11 tahun itulah pemberian yang harus iklas kuterima?"


092014, Malam di Kampung Kubu

No comments:

Post a Comment