KASATRIYAN

[kasatriyan][twocolumns]

PADHARINGAN

[padharingan][twocolumns]

SENTHONG

[senthong][twocolumns]

KLANGENAN

[padangkembara][twocolumns]

GATHOLOCO

[gatholoco][twocolumns]

Bukan Software tapi Brainware, Bukan Hardware tapi Heartware



Di depanku terpampang satu working station bernama popular Mac, lengkap dengan layar 29 inchi, prosesor Xeon, sistem operasi Leopard dengan tambahan sistem operasi Windows XP SP3 dan Windows 7 pada bootcamp-nya. Juga tiga harddisk drive dengan total kapasitas 3,5 terrabyte dan seonggok spesifikasi hardware yang mumpuni.
Di sampingnya, notebook sisa perjuangan jaman Jepang peninggalan mantan pimpinan sebelumnya. Beliau rela hati mewarispinjamkan jatah equipment yang seharusnya menjadi hak beliau karena waktu itu notebook prbadiku sisa kuliah di Belanda sedang masuk bengkel gara-gara diforsir kerja analisis peta tuntutan syarat kelulusan sekolah pascasarjana. Spesifikasinya memang semenjana. Tapi untuk pekerjaan back-office sepertinya masih cukup mampu.
Di meja sebelah, notebook pribadiku terbuka pula layarnya.. Spesifikasinya juga tak kalah keren dengan Mac milik kantor. Waktu itu, prosesor i5 baru saja muncul dipasaran. Harganya masih selangit untuk ukuran kantong mahasiswa rantau. Tapi, terbeli juga karena keterpaksaan. Keterpaksaan akibat tuntutan kuliah di bidang perpetaan yang mengharuskan punaya komputer jinjing yang high-end.  Keterpaksaan karena mau tak mau harus utang kiri kanan.
Spesifikasinya tidak sekedar lumayan. Prosesor, kartu grafis, harddisk, dan perangkat keras lainnya boleh dikata layak untuk tugas-tugas komputasi berat. Meski harus berkawan dengan desing suara kipas prosesor yang sangat kuat, baterai yang super duper drop, IC-power yang kata tukang servis rentan mati gara-gara jatuh akibat senggolan pantat kawan sebelah bangku kulias, boleh dijamin, kecepatannya masih wuss..wuss..wuss.
Ini bukan sombong. Inti ceritanya bukan tentang pamer kemewahan. Tapi bahwa tahun ini, kali pertama peralatan komputer spesifikasi tinggi boleh dikata tak lagi kekurangan.
Masih teringat tujuh tahun yang lalu, aku duduk di kursi reyot yang siap membuatku tergelincir. Kursi berbalut babut merah dengan busa yang nyaris rata. Kursi yang setiap aku menggeserkan tubuh harus dibarengi dengan perasaan khawatir bakal patah. Sementara di depanku, komputer masa pendudukan Belanda menjadi hiasan meja. Layarnya sudah berdebu dengan tampilan yang setiap saat berubah warna dari kehijauan ke kekuningan, dari kekuningan ke kemerahan, dari kemerahan kembali lagi ke kehijauan atau semburat biru. Bila itu terjadi, tandanya aku harus memukul bagian samping layar monitor agar warnanya kembali normal.
Perangkat lunak yang tertanam pun hanya sekedarnya. Perangkat lunak standar bawaan Windows, plus MS-Office bajakan, dan program pengolah gambar yang sudah habis masa cobanya. Satu-satunya yang melimpah adalah program permainan. Dari heart sampai blackjack, mulai snorkleball sampai pipeline. Semua permainan yang tidak membutuhkan spesifikasi komputer mumpuni. Tapi itu tersedia melimpah. Dan yang terpenting, terlihat sering dimainkan.
Masih juga teringat kalimat pertama yang terucap dari mulutku waktu itu, “Ya Tuhaaann!!!”
Banyak hal berbeda yang sudah terjadi. Banyak perubahan dan perbaikan yang berlangsung sampai kini. Satu hal yang tetap sama, aku merasa belum menghasilkan apa-apa. Alat-alat sudah berkembang dengan canggihnya. Meski belum semua bisa tersedia, sebagian besar sudah ada di depan mata.
Dulu alat belum ada, lalu data yang belum tersedia, lalu rekan sejawat yang belum satu visi, lalu waktu dan kesempatan yang jarang ada karena tumpukan pekerjaan. Sekarang apa? Aku mencoba mencari apologi. Tapi tidak kutemukan lagi satu pun bentuk pembenaran.
Memang banyak yang sudah dikerjakan. Tapi tidak ada yang benar-benar memuaskan diri. Rasanya semuanya hanyalah pekerjaan yang hanya menjadi asap setelah usai pekerjaan itu. Wussss… hilang tiada berbekas. 
Brainware lebih utama dari Software maupun Hardware, satu lagi…heartware
Dari dulu bertumpuk ide di kepala. Selaksa keinginan yang ingin diwujudkan. Berbagai macam mimpi yang diwacanakan ke kolega di sekitar. Tapi rasanya, semua mengkal. Mentah tidak, matang bukan. Nyatanya belum ada yang benar-benar berhasil.
Dari sinilah kemudian terbit satu pemahaman. Tidak ada hasil yang bisa dibanggakan selama semuanya itu masih sekedar wacana. Begitu banyaknya alat bantu yang tak diragukan lagi kecanggihannya tak ada artinya selagi si manusia hanya sekedar bermimpi. Baru sebatas retorika dan wacana, begitu kata para cerdik pandai.
Maka rasanya mulai muncullah kesadaran dalam diri, inilah waktu untuk mulai berbuat sesuatu. Sesuatu yang sederhana namun benar-benar ada hasilnya. Dahulu begitu banyak ide bombastis. Mungkin brilian mungkin juga gila. Tapi semua sebatas ide di kepala. Untuk mewujudkkannya? hhhmmmm….
Serasa ingin meledak kepala ini karena begitu banyaknya keinginan yang ingin dilakukan. Tapi pengalaman mengajarkan, cukup satu dulu, spesifik, jelas, dan selesaikan. Sisanya, catat, simpan, dan kerjakan setelah pekerjaan sebelumnya selesai dan menghasilkan sesuatu.
Kuncinya adalah fokus, mulai dari diri sendiri, dan arahkan pandangan ke arah yang pasti.
Mungkin kadangkala perlu multitasking karena begitu banyak tumpukan tanggung jawab yang harus diselesaikan dalam waktu yang bersamaan, tapi itulah seninya. Tetap mengarahkan pandangan pada tujuan. Yang lain, lupakan sejenak untuk kemudian dipikirkan nanti pada waktunya.
Dus, inilah saatnya bergerak menghasilkan sesuatu, meski kecil dan bersahaja. Sebab hal yang besar pun belum bisa dikatakan besar bila tidak terselesaikan dengan tuntas.
Mulailah… berpikir secara luas, bertindak secara spesifik, tapi yang utama..mulailah…mulailah sekarang juga. Sebelum semuanya terlambat. Dan satu hal lagi, hati…bekerjalah dengan hati..maka niscaya semua akan menyenangkan tiada membosankan. 
--malam Jumat ke-19, ditengah keheningan malam--

No comments:

Post a Comment