KASATRIYAN

[kasatriyan][twocolumns]

PADHARINGAN

[padharingan][twocolumns]

SENTHONG

[senthong][twocolumns]

KLANGENAN

[padangkembara][twocolumns]

GATHOLOCO

[gatholoco][twocolumns]

Dab, kok Lodse-mu Dadsu Mie?


Bagi orang-orang yang pernah tinggal di Kota Gudeg, pasti tidak bingung kalau harus membaca kalimat pertanyaan diatas. Arti kalimat di atas kurang lebih begini, “Mas, kok minumanmu bau aroma mi instan sih?” Lho, kok bisa begitu? Apa hubungannya minuman sama mi instan?
Pasti sidang pembaca segera berpikir, ah itu sih hal biasa. Gampang saja jawabnya.
Mungkin panci yang dipakai untuk menjerang air bekas dipakai untuk masak mi instan, atau mungkin juga karena peminumnya baru saja makan mi instan rebus tanpa telur maka nafasnya pun masih menyisakan aroma masakan instan itu.
Kalau anda sekalian berpikir hal yang pertama, sidang pembaca yang terhormat, anda hampir benar. Tapi, anda belum sepenuhnya benar. Kalau yang terjadi persis seperti yang sudah saya ceritakan di awal tadi, tentu cerita ini tidak perlu diteruskan sampai selesai. Cukup sampai disini, dan kita sama-sama terdiam bingung sambil bertanya, “Apa maksudnya??Dimana asyiknya??”
Eiittss, jangan salah. Cerita ini masih akan berlanjut saudara-saudara. Kejadian air (putih) yang berbau aroma gurih mi instan ini biasanya dialami oleh mahasiswa perantauan yang sedang menimba ilmu di perguruan tinggi. Mereka biasanya terpaksa harus menjalani kehidupan yang tidak beda jauh dari golongan masyarakat—yang menurut Badan Pusat Statistik—termasuk dalam kategori dibawah garis kemiskinan. Semakin jauh jarak dia menempuh ilmu dari kota(atau desa) tempat tinggalnya maka umumnya (saya katakan demikian karena tentunya tidak semua dan tidak selalu-pen) akan semakin dekat dia pada garis imaginer bernama garis kemiskinan.
Karena terbatasnya kiriman rekan-rekan kita ini, mereka akan sering mengandalkan mi instan sebagai salah satu asupan nutrisi utama untuk menopang hidup mereka tiap hari. Ini akan semakin sering dilakukan apabila tanggal sudah mendekati akhir bulan. Intensitas konsumsi mi instan akan semakin sering terjadi. Lebih parah lagi mungkin, untuk menyiasati biaya hidup yang besar di kota dan kiriman yang terbatas dari orang tua, ada sebagian rekan kita yang terpaksa harus kreatif. Sebungkus mi instan yang sebenarnya isinya sedikit, terpaksa harus dibelah jadi dua untuk sekadar bertahan lebih lama sebelum kiriman bulan selanjutnya datang.
Selanjutnya, mi instan yang sudah sedikit dan lebih sedikit lagi karena harus dibelah dua dimasak dengan peralatan seadanya. Bukan kompor atau panci, atau bahkan steamer atau microwave, yang jadi sasaran adalah alat bernama water-heater. Alat dengan sumber pemanas dari listrik yang sedianya diperuntukkan sebagai pemasak air disulap fungsinya menjadi kompor-panci multifungsi. Multifungsi karena selain sebagai wadah masak, elemen pemanas yang ada di dalam water-heater berfungsi juga layaknya kompor.
Alhasil, kontainer water-heater yang umumnya dibuat dari bahan plastik (dan tentunya sangat tidak cocok sebagai alat masak makanan) jadi beraroma mi instan. Bagaimana tidak, kita semua sama-sama mengenal aroma bumbu mi instan yang menyengat. Sementara, bahan plastik dikenal cukup menyerap bau, apalagi bila dalam kondisi panas. Ditambah lagi, sisa-sisa mi instan yang lengket di elemen pemanas didalam water-heater sangat sulit dibersihkan karena letaknya yang susah dijangkau.
Karena water-heater adalah satu-satunya alat yang dapat dibeli sesuai dengan ukuran kantong mahasiswa rantau maka intensitas pemakaiannya pun menjadi sangat tinggi. Aroma mi instan sisa masakan sebelumnya dapat bertahan dalam waktu yang cukup lama. Maka pada proses memasak selanjutnya, aroma tersebut masih tertinggal dan membuat air hasil rebusan menjadi beraroma mi instan.
Terlebih lagi, karena kemampuan kantong yang terbatas maka sekedar untuk membeli “pewarna” air minum (teh, kopi, susu, dan sebangsanya) rekan-rekan kita mahasiswa rantau ini harus berpikir ulang berkali-kali. Ketika ada kawan sesama mahasiswa yang datang bertandang, satu-satunya teman ngobrol hanyalah secangkir air putih tanpa snack apapun. Dan aroma mi instan itu akan tetap terbawa saat si kawan tadi menghirupnya. Maka sudah bisa ditebak, dari mulut si kawan mahasiswa rantau yang sama-sama menempuh kuliah di kota Yogyakarta tercetuslah pertanyaan ini, “Dab, lodse-mu kok dadsu indomi??”

*) inspired by : Wahyu “Ipung” Purnomo
**) Mahasiswa rantau, makan tak teratur
Senen makan, Selasa puasa
Rabu ngutang, eh Kamis dibayar
Jum’at lapar lagi
Sabtu makan lagi
Minggu ngutang lagi
Senen balik lagi
(courtesy: Pemuda Harapan Bangsa)

No comments:

Post a Comment