KASATRIYAN

[kasatriyan][twocolumns]

PADHARINGAN

[padharingan][twocolumns]

SENTHONG

[senthong][twocolumns]

KLANGENAN

[padangkembara][twocolumns]

GATHOLOCO

[gatholoco][twocolumns]

Mas Petruk dan Tekek



Seperti biasa sehabis kembul bujana andrawina dengan Yayi Rukmini dan Denmas Rakai, Mas Petruk lalu leyeh-leyeh di halaman depan padhepokan. Di bawah pohon sawo kecik yang biasa, lincak bambu butut adalah singgasana peristirahatan siang Mas Petruk. Lincak yang bagian-bagiannya banyak lapuk dimakan kumbang bubuk tapi jauh lebih ngangeni dibanding kursi empuknya Adipati Salya.
Siang ini angin begitu semilir. Mata Mas Petruk serasa berat digandhuli ceker bacem nyamleng masakan Yayi Rukmini tadi pagi. Kepalanya semakin susah ditegakkan. Lagu campursari yang dinyanyikan Denmas Rakai serasa mengayun Mas Petruk ke dalam buaian.
Baru saja mak ler, mendadak mak jenggirat Mas Petruk terbangun kaget. Apa pasalnya? Jebul, seekor tokek raseksa yang tampangnya cuma sedikit lebih nggantheng dari Raden Dasamuka tiba-tiba memekik dengan suaranya yang paling serak, Teeekkkeeeekkk.... Teeekkeeeekkk... Tteeee...tteeett...ttteeeekeeekkkk..
"Trembelane!!! Tekek murang tata!!! Kere munggah bale, wong elek nyolok mata!!! Kakekane tenan ogh kowe ki Kek, jian ora menak-menakke wong lagi arep ngeluk boyok..."

Seketika dari mulut mecucu Mas Petruk ber-holopis kuntul baris serentetan kata makian. Mendengar itu, Denmas Rakai pun seketika cep klakep. Lagu campursari Kutut Manggung yang sedari tadi didendangkan tak lagi terdengar. Yayi Rukmini yang sudah mahfum dengan kebiasaan Mas Petruk hanya tersenyum simpul saja. Mas Petruk memang paling anti kalau tidur siangnya terganggu.

***

Setelah membombardir Si Tekek dengan omelan panjang lebar dan sejurus Si Tekek pun juga terdiam, Mas Petruk yang sudah terlanjur emosi berat nampak kesulitan mengundang ngantuknya datang lagi.
Kocap kacarita angin sejuk yang tadi bertiup semilir serta merta ikut terdiam dengan irama Kutut Manggung yang hilang dari pendengaran Mas Petruk. Dunia jadi tintrim. Denmas Rakai tampaknya sadar bapaknya sedang duka yayah sinipi jaja bang mangiwa-ngiwa. Seketika mendengar bapaknya menghamburkan sumpah serapah, radio transistor tua miliknya segera sinigeg. Burung emprit pun seketika sigeg. Semua tenggelam dalam kediaman yang tintrim.
Suasana makin membuat Mas Petruk esmosi. Singgasana lincak bambu butut tak lagi nyaman. Panas, gerah, dan selalu kemriyek setiap Mas Petruk mengubah posisi tidurnya. Saranduning badan serasa ikut berulah. Pegal karena bolak-balik mingsreg minger ke kanan dan ke kiri, Mas Petruk pun terduduk.
Rasanya lama benar sejak kantuk itu datang. Tapi hari tidak juga beranjak sore. Matahari masih terik membakar. Cuma kepulan fatamorgana bercampur debu tampak di halaman padhepokan. Tidak tahan dengan suasana yang tintrim dan kaku, dengan lesu Mas Petruk bertanya, "Duh Yayi Rukmini geganthilan atine pun kakang, jam berapa ya sekarang?"
Sekejap tidak ada jawaban. Mas Petruk sajak mulai angot lagi. "Yayi Rukmini...ohh Yayi Rukmini, sekarang jam berapa?"
Dari senthong samping gandhok, terdengar jawaban dari Yayi Rukmini, "Embuh Pakne.."
"Lhadalah, kok embuh ki piye? Di dinding dekatmu itu kan ada jam...mbok ya tolong diliatkan sudah jam berapa itu?"
"Lha bukannya sudah sejak seminggu ini jam dinding kita mati kehabisan tenaga. Sliramu rak yo sudah kumintain tolong untuk segera beli baterai, supaya kita mudah kalau mau tahu waktu. Ning setiap saat kuingatkan, kandhamu ndak usah beli baterai, toh masih ada tekek yang bisa kita pedomani biar tahu waktu. Sliramu sendiri yang bilang kalau tekek itu binatang pintar. Tahu waktu. Bisa menggantikan peran segala jenis jam di muka bumi ini. Ingat apa tidak?"
Mak jegagik Mas Petruk tersadar. Trembelane..kojur iki. "Kena lagi aku."
Memang seminggu yang lalu jam dinding di padhepokan mati kehabisan baterai. Dan memang benar kalau Mas Petruk sendiri yang punya alasan seperti Yayi Rukmini bilang. Bukan karena Mas Petruk malas beli baterai, tapi memang bulan ini Mas Petruk tidak pegang uang sepeser pun.
Panen belum lagi mulai, sisa uang hasil nempur gabah sudah habis, sementara Si Blorok yang selama ini dapat jejibahan untuk menghasilkan telur demi menyambung batas limit kredit bulanan Mas Petruk belum juga bertelur. Alhasil sisa uang yang Mas Petruk pegang habis gusis untuk nalangi kredit plecit yang tukang tagihnya tidak pernah absen datang bersamaan dengan suaranya yang kemlonthang dan mukanya yang garang.
Menurut goteking akathah, tekek adalah binatang yang paling paham waktu. Mitos di kampung Mas Petruk, Si Tekek punya kehebatan untuk menyebutkan waktu dengan tepat. Tinggal hitung saja berapa kali dia bilang teeekkkeeekkkk, maka kita bisa tahu jam berapa saat itu. nDilalahnya, selama seminggu terakhir sebelum jam dinding Mas Petruk mati semuanya pas. Si Tekek selalu berbunyi kurang lebih sama dengan jumlah angka yang ditunjukkan jarum pendek jam dinding.
Kini, tinggal Mas Petruk yang tersandar menyesal, kenapa kok tadi ketika Si Tekek memberitahukan jam berapa siang itu tidak digubris. Mas Petruk justru malah marah-marah tidak memperhatikan berapa kali jumlah teriakan Si Tekek. Kalau sudah begini, baru sadar... para tekek tanpa pamrih yang selalu cerewet ngasih tahu dengan suaranya yang cempreng itu sebenarnya adalah makluk-makluk yang baik.
Integritasnya yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Komitmen dan konsistensinya berbunyi tanpa pernah berpikir akan penghargaan atau bayaran. Dedikasinya jelas tidak perlu diragukan lagi. Lalu kenapa Mas Petruk mesti marah-marah pada para tekek? Kenapa Si Tekek dia maki-maki, digoblok-goblokkan, dibajing-bajingkan? Padahal niat Si Tekek tidak pernah buruk, lain seperti para gedibal Kurawa yang suka menjilat pantat rajanya dengan tutur kata manis.
Memang suara tekek tidak pernah enak didengar, cempreng, keras dan nyakitin kuping. Tapi justru dengan begitu pesan waktu tersampaikan dengan lugas dan jelas. Bayangkan kalau tekek bersuara layaknya Sunyahnik atau Waljinah yang pandai nembang itu, atau Nimas Raisa putri Mataram yang suaranya mendayu-dayu lembut. Bisa jadi Mas Petruk tidak lagi pernah tahu waktu. Bisa jadi Mas Petruk justru nglempus tidurnya mendengkur. Atau bisa-bisa lebih parah, bukannya mendengarkan berapa jumlah ulangan teriakan Si Tekek tapi malah ngiler melihat kecantikan dan kemolekan tubuh Nimas Raisa, eh Nimas Tekek.
Tiba-tiba, Tekkeeeekkk...Teeekkkeeekkk...Teeekkkeeekk...Teeekkkkkketeetteekkkkeekkkk, empat kali didengarnya Si Tekek menghimbau. Mak ceeesssss rasa hati Mas Petruk. Tidak jadi marah-marah, justru mata Mas Petruk berkaca-kaca penuh keharuan dan rasa penghargaan, ternyata Si Tekek tetap konsisten menjalankan tugasnya. Maturnuwun Tekek, dirimu masih konsisten untuk mengingatkan jam berapa sekarang ini.
Klunuh-klunuh Mas Petruk menyeret diri ke pakiwan, sudah waktunya membersihkan diri dan menjemput Gudel dari ladang penyenggutan. Sekali lagi, "Maturnuwun ya Tekek!".

Hujan akhir pekan, Bumi Enggang 112014
Tulisan yang telah 3 pasaran terhibernasi dalam kotak

No comments:

Post a Comment