KASATRIYAN

[kasatriyan][twocolumns]

PADHARINGAN

[padharingan][twocolumns]

SENTHONG

[senthong][twocolumns]

KLANGENAN

[padangkembara][twocolumns]

GATHOLOCO

[gatholoco][twocolumns]

Urip Mono Amung Gentenan

Urip kuwi mung gentenan, begitu kalimat yang baru saja saya baca di salah satu grup media sosial. Mungkin yang dimaksudkan oleh si pengunggah, hidup ini selalu penuh dengan pasang surut, berganti-ganti antara senang dan susah, sakit dan sehat, sedih dan bahagia. Hampir tidak beda dengan salah satu pepatah tua Jawa yang sebelumnya sudah sangat familiar di telinga, Cakra Manggilingan.

Benar, hidup ini ibarat roda penggilingan, selalu berputar, naik dan turun. Belum pernah ada cerita satu orang pun di dunia yang selalu merasakan kesenangan dalam hidupnya. Pun tidak juga ada satu orang pun di dunia yang hidupnya penuh dengan kepedihan dan kesengsaraan. Sedang orang yang paling kaya pun pernah merasakan kehilangan dan orang paling papa tidak cuma sekali dia pasti pernah merasa bahagia.
Tapi yang lebih menarik dari kalimat tersebut adalah kata gentenan, (saling bergantian-pen). Mari sedikit menarik obrolan ini keluar diri kita. Selain menyadari bahwa sebagai manusia kita seyogyanya memaklumi tidak selamanya kita bahagia, juga harus dipahami bahwa hal yang sama juga terjadi pada orang lain. Ghalibnya, tidak semua orang merasakan perasaan yang sama pada suatu masa yang bersamaan. Wajar sekali bukan dalam hidup kita merasa senang pada saat orang lain merasakan sedih? Sebaliknya, sama wajarnya ketika kita sedih, orang lain justru sedang merasakan kebahagiaan yang tak terperi.
Ini menuntut rasa pengertian dan tepa slira kita. Saat senang, tentu jangan sampai saya dan anda jumawa dan gembira berlebihan, seperti halnya sebaliknya, menjadi marah dan sedih berkepanjangan kala dukacita datang atau keinginan kita tidak terpenuhi. Percayalah bahwa sedih dan derita suatu ketika akan berganti dengan riang dan kegembiraan, sama halnya tak selamanya gembira menetap di hati kita, terputar kembali menjadi sedih dan duka.
Mengucap selamat kepada orang lain saat mereka mengalami kesukaan, terkadang menjadi obat bagi luka kita. Kesedihan dan kesakitan kita berubah menjadi rasa pasrah dan berserah ketika kita bisa menghargai kebahagiaan yang dialami orang lain. Anehnya, kegembiraan kita tidak akan berkurang saat kita peduli bahwa ditengah kebahagiaan kita ada orang lain yang sedang mengalami masa suram. Percaya dan yakinlah, mengingat duka cita mereka--sesama kita--pada saat kita sedang dikaruniai kebahagiaan justru menambah nilai kebahagiaan kita, rasa nyaman yang ekstase, ketika kita sedang mendapat karunia dan kita tidak lupa bersyukur atas anugerah itu.
Maka, hidup ini akhirnya memang hanya akan selalu "gentenan", kadang kita merasa sedang berada di titik nadir kehidupan kita, sementara orang lain menikmati keindahan hidupnya dan terkesan mereka tak peduli. Bila saat itu terjadi, tetaplah bahagia, karena suatu saat nanti giliran anda yang akan mendapatkan anugerah itu, ketercapaian mimpi.
Biarkanlah mereka menikmati saat mereka, sebab ada saatnya untuk kita, nanti...suatu saat nanti. Toh, urip iki rak mung gentenan? Gusti Allah mengingat kita, Panjenengane ora sare..

082014, Senjakala  di Tanah Enggang

No comments:

Post a Comment