KASATRIYAN

[kasatriyan][twocolumns]

PADHARINGAN

[padharingan][twocolumns]

SENTHONG

[senthong][twocolumns]

KLANGENAN

[padangkembara][twocolumns]

GATHOLOCO

[gatholoco][twocolumns]

Pulang


Senin malam kemarin saya mendapat berita duka dari keluarga, Paklik yang sudah lebih setahun ini menderita kangker dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa. Sekitar 2.30 dini hari berita itu datang, tapi sebenarnya sudah tidak terlalu mengherankan. Paklik yang semenjak meninggalnya Eyang awal April lalu kondisinya sudah semakin drop, akhirnya menutup lembaran perjuangannya dengan penyerahan sepenuhnya pada Allah—begitu khotbah pendeta dalam kebaktian penghiburan siang tadi.

Namun, yang menarik justru rasa tertegun saya sejak malam tadi sampai dengan saat saya menulis tulisan ini. Rasa tertegun betapa sebuah perjuangan yang dijalani oleh Paklik begitu berat. Bahwa pada saat-saat ketika kami—keluarganya—lelap tertidur,sebagian karena terlalu lelah menunggui, atau ketika jiwa kami sudah sangat nglokro dengan peluang kesembuhannya; Paklik masih tetap menghadapi sakitnya sendiri tanpa lelah. Bahwa banyak anggota keluarga maupun orang-orang yang menjenguknya mengatakan pada saya bahwa Paklik tetap memancarkan semangat yang tidak pernah kendur. Saat semuanya saya coba renungkan dalam kegelapan tadi malam, sebuah kekuatan mendorong saya untuk memahami retreat. Memahami sebuah makna perjalanan kembali pada kemurnian dan kesucian. Dan akhirnya, memahami makna penyerahan sepenuhnya pada kuasa ilahiah.
Pulang, kata ini sedang begitu akrab dengan telinga kita hari-hari belakangan ini. Mudik, kata lain yang kurang lebih memiliki arti senada, baru saja selesai dijalani oleh saudara-saudara saya kaum muslim. Pada makna yang lebih luas, kembali ke fitrah, juga menjadi kumandang yang begitu kental pada nuansa lebaran. Maka, kepulangan Paklik ke rumah Bapa di surga—begitu kami sering menyebutnya—menggenapi jumlah kosakata “kembali” yang sedang marak belakangan ini.
Diri saya kemudian teringat masa belasan tahun lalu ketika saya dan beberapa katekisan mengikuti kegiatan retreat di salah satu wisma di Kaliurang. Kami diajarkan pada konsepsi retreat. Sebuah penyerahan total berlandaskan kesadaran penuh bahwasannya tanpa disadari, diri manusia seringkali melenceng dari fitrahnya sebagai mahkluk yang—seharusnya—spiritual. Sebuah bentuk rekonsiliasi pada keilahian yang sadar atau tidak sedang ditinggalkan.
Tidak begitu banyak yang saya ingat dari pelajaran-pelajaran kala itu. Tetapi, kalau boleh saya menggaris bawahi maka retreat adalah “kembali”, perjalanan kembali kepada sesuatu yang kudus dan suci. Mungkin salah atau mungkin juga benar saya tidak terlalu peduli. Toh, sampai saat ini pun konsepsi tentang benar atau salah bagi saya sangatlah cair, mulur mungkret, demikian istilah milik Ki Ageng Suryamentaram dalam Ilmu Begja.
Malam tadi, saya serasa tersadar atau mungkin lebih tepatnya disadarkan bahwasannya pada saatnya kita akan kembali pada Sang Khalik. Meninggalnya Eyang Putri pada April lalu mungkin baru sekedar mengingatkan saya pada kedalaman kasih seorang ibu. Sosok ibu yang tergambar dalam diri Eyang Putri dengan berbagai bentuk dan aktualisasinya membuat diri saya begitu mengingat beliau, pun sampai saat ini. Kenangan pada masa enam tahun kanak-kanak saya adalah sebuah kenangan pada My Childhood Mama. Dan ketika malam tadi,kabar meninggalnya Paklik sampai ke telinga saya, maka saya kembali diingatkan akan sebuah rekonsiliasi makhluk pada penciptanya. Penyatuan yang hakiki dari sebentuk roh yang terlepas dari jasadnya pada sebentuk roh yang lebih transenden, yang jauh maha besar.
Kenyataan bahwa Paklik sudah cukup lama menderita dalam perjuangannya melawan kangker sebenarnya justru menjadikan kabar meninggalnya Paklik sebuah kabar bahagia. Sebuah berita gembira bahwasannya rohnya yang terpaksa harus menjalani hidup dalam wadag yang sangat fana itu akhirnya mengalami keterlepasan dari segala pambengan. Roh itu kini sudah menjadi nir materi. Tetapi, nir yang sekarang bukanlah nir yang kosong melainkan nir yang penuh. Nir yang menjadi pernyataan bahwa yang kudus telah bersatu bersama dengan Yang Maha Kudus. Sebuah keterlepasan yang membebaskan. Itu artinya, tidak perlu ada yang disesali dari kehilangan ini. Karena kehilangan ini adalah sebuah proses menuju “kedapatan penuh”.
Tentu saya merasa sedih, karena bagaimanapun saya berpikir tentang keluarga yang ditinggalkan Paklik. Bagaimana dengan kecukupan materi? Bagaimana dengan pemenuhan kasih sayang? Bagaimana dengan tulang punggung keluarga? Bagaimana dengan tempat bersandar bagi keluarga saat mereka butuh tempat mengadu? Bagaimana dan bagaimana yang lain? Tapi bermacam pertanyaan ini hanyalah sebagian dari kesedihan saya.
Kesedihan saya timbul justru karena saya sangat mengagumi perjuangan semua keluarga maupun  orang-orang yang tanpa punya ikatan keluarga namun merasa satu persaudaraan. Mereka berjuang meski mereka tahu mereka tak berdaya. Mereka berusaha meskipun mungkin masing-masing merasa harapan mereka semakin menghilang. Mereka saling menguatkan meskipun mungkin masing-masing sudah sangat nglokro. Dan karena inilah, iman masing-masing tetap terjaga. Biarpun hanya sebesar biji sesawi, tetapi masing-masing tetap terjaga. Inilah yang membuat saya sedih, bahwa perjuangan besar itu tidak berhasil seperti yang diharapkan.
Mereka adalah orang-orang pilihan yang selalu siap berjuang bagi kesembuhan Paklik. Tabik dan hormat saya pada Keluarga Bandung, Keluarga Semarang, Keluarga Solo Raya, Keluarga Surabaya, Keluarga Pituruh, Keluarga Bethany, Keluarga Candisari, dan tentunya hormat dan kagum saya pada pendamping dan putra Paklik. Mungkin mereka-mereka itulah sebenarnya Roh-Roh Kudus yang mancala. Mereka saya yakin adalah Sang Pendamping itu sendiri. Atas segala yang mereka perjuangkan itulah saya merasa sangat tertegun. Ketertegunan itu yang kemudian menjelma menjadi sebuah kesadaran pribadi, Tuhan berkarya pada kehidupan umatNya. Tuhan ada dan selalu ada, dulu, sekarang dan sampai selamanya.
Karya yang dikerjakan olehNya mungkin kali ini tidak sama dengan kehendak kita, atau lebih tepatnya kehendak kita belum seturut dengan kehendakNya. Namun, seperti nyanyian pujian dalam kebaktian penghiburan siang tadi, janji Tuhan adalah seperti halnya fajar pagi hari, tiada pernah terlambat untuk bersinar. Selalu ada hal baik dibalik setiap pergumulan. Every cloud has a silver lining.
Tuhan berkarya. Paling tidak dalam diri saya. Karena saya kembali diingatkan bahwa kematian bukanlah suatu penyesalan. Kematian adalah kabar suka cita. Kematian adalah jalan pulang. Jalan untuk retreat dan rekonsiliasi pada fitrah. Bahwa Syech Siti Jenar mengawali hidupnya dengan kematian, demikian sebenarnya diri kita masing-masing. Kematian adalah syukur terbesar bagi diri kita, karena dengan kematian kita terlepas dari dunia yang sangat profan ini, bergabung dengan Ilahi yang transenden. Pulang kepada Bapa, duduk di sebelah kananNya, dan menunggu saat kebangkitan bagi setiap pribadi kudus. Saat dimana Anak Domba bertahta dalam nyanyian sangkakala kemenangan. Paklik hanya pulang, mari kita menghantarkannya dengan penuh suka cita. Dan bila nanti saya harus pulang, biarlah saya akan menyambut kepulangan saya juga dengan sukacita. Seperti Paklik percaya Yesus menggandeng tangannya, demikian juga saya. Selamat jalan Paklik. Selamat bertemu dengan Bapa di surga dalam sukacita penuh.
Semoga kuasaNya menjaga kita selalu terjaga, sampai akhir jaman. Tuhan memberkati.


Candisari, 14-09-2010
Dedicated to :
Om Tik, Ibu, dan semua keluarga besar Eyang Prasetyodiatmono, serta persaudaraan besar anak-anak Allah atas semua upaya dan doanya yang tidak kenal berhenti.

No comments:

Post a Comment